advertisement

Penayangan bulan lalu

Senin, 29 Agustus 2011

Islamophobia dan Xenophobia


Hanya beberapa, jam setelah terjadi serangan kembar yang menewaskan sedikitnya 93 orang di Norwegia pada Jum’at (22/7), editorial korang Washington Post (washingtonpost.com) menurunkan tulisan Jennifer Rubin yang menyudutkan umat muslim. Pada salah satu paragraf Rubin mengutip situs Weekly Standard, “We don’t know if al Qaeda was directly responsible for today’s events, but in all likelihood the attack was launched by part of the jihaddist hydra. Prominent jihaddists have already daimed online that the attack is payback for Norway's involvement in the war in Afghanistan (Kita tidak mengetahui, apakah al-Qaeda bertanggung jawab secara langsung atas peristiwa hari ini. Namun, dalam semua kemungkinan, serangan diluncurkan oleh suatu jaringan jihad. Jihadis terkemuka telah meminta agar garis serangan ditujukan pada partisipasi Norwegia dalam perang di Afganistan)."

Selanjutnya Rubin menyajikan analisis miring berikutnya: Moreover, there is a specific jihadist connection here: "Just nine days ago, Norwegian authorities filed charges against
Mullah Krekar, an infamous al Qaeda-affiliated terrorist who, with help from Osama bin Laden, founded Ansar at Islam — a branch of at Qaeda in n northern Iraq — in late 2001 (Selain itu, ada hubungan jihad di sini: "Hanya Sembilan hari lalu, pemerintah Norwegia mengajukan akan tuntutan terhadap Mullah Krekar, seorang yang berafiliasi dengan al-Qaeda, yang dengan bantuan dari Osama bin Laden, mendirikan Ansar al-Islam - sebuah cabang dari al-Qaeda di Irak utara pada akhir 2001)."

Editorial Washington Post tersebut sangat kasar dengan tiba-tiba menuding al-Qaeda berada di balik serangan itu. Padahal investigasi terhadap peristiwa tersebut belum dilakukan oleh pihak berwenang Norwegia. Parahnya lagi, analisis miring Washington Post itu dirujuk oleh media-media besar lainnya seperti CNN dan Wall Street journal. Berita miring tersebut telah membentuk opini publik dunia bahwa pelaku terorisme di Norwegia itu adalah kelompok Muslim.

Islamophobia dan Xenophobia

Terkait kasus terorisme di Norwegia tersebut umat Muslim perlu mencatat beberapa hal. Pertama: betapa bobroknya media massa Barat dalam membangun opini negatif tentang Islam. Bahkan mereka tidak segan melabrak etika jurnalistik dalam pemberitaan tentang Islam dan kaum Muslim. Kasus Norwegia menjadi salah satu bukti kebobrokan Washington Post, CNN dan Wall Street journal yang menurunkan tulisan Rubin di atas, karena ternyata pelaku serangan tersebut adalah Anders Behring Breivik (32).

Breivik adalah seorang pembenci Muslim yang menganggap dirinya sebagai tentara Perang Salib yang besar dan mengaku memiliki misi untuk menyelamatkan orang-orang Kristen Eropa dari gelombang pengaruh Islam. Aksi Breivik telah menewaskan 93 orang. Tujuh orang di antaranya tewas dalam ledakan bom mobil di luar gedung pemerintah di pusat kota Oslo, 86 orang lainnya tewas dalam penembakan massal di Pulau Utoeya, 40 kilometer dari Oslo, tempat pertemuan pemuda Partai Buruh yang menunjukkan solidaritas kepada rakyat Palestine.

Kebobrokan media tersebut bahkan diakui juga oleh para pengamat Barat sendiri. Pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kebebasan beragama, Heiner Bielefeldt, melontarkan kritik pedas terhadap laporan-laporan awal media menyangkut pembunuhan massal di Norwegia yang langsung menghubungkan kasus tersebut dengan terorisme Islam. Heiner, yang merupakan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama dan Kepercayaan menyebut laporan-laporan media semacam itu sebagai sikap yang memalukan karena memuat berita berdasarkan prasangka. Demikian seperti yang dikutip Pusat Media PBB, di New York, Amerika Serikat, Selasa (26/7). Penulis Amerika, James Fellows, bahkan menuntut surat kabar Washington Post untuk meminta. maaf kepada dunia Muslim karena telah memuat tulisan Rubin yang lebih bersifat prasangka dari pada fakta.

Kedua: selain 'mengobral' berita miring berbasis prasangka, media Barat juga menggunakan standar ganda untuk mendiskreditkan Islam. Ketika ada seorang Muslim melakukan tindak kriminal maka media Barat langsung menghubungkan tindakan tersebut dengan aksi terorisme. Mereka juga sering melakukan generalisasi yang lebih luas, misalnya aksi tersebut dihubungkan dengan ajaran Islam seperti jihad, syariah dan Khilafah. Namun, mereka tidak melakukan hal yang sama apabila pelakunya adalah warga Barat sendiri. Misalnya, begitu diketahui bahwa pelaku serangan di Norwegia adalah Breivik yang seorang Kristen, sebutan kepada pelaku aksi pengeboman dan serangan bersenjata itu berubah dari teoris menjadi fundamentalis. Media Barat sengaia membangun opini publik bahwa jika pelaku pengeboman adalah seorang Muslim maka ia disebut teroris. Namun, jika pelakunya non-Muslim ia hanya disebut fundamentalis atau rasialis. seperti yang dikatakan oleh pejabat kepolisian Norwegia Roger Andersen seperti dilansir kantor berita AFP (23/7) bahwa pelaku aksi serangan di Norwegia adalah seorang Kristen fundamentalis.

Pada kasus Norwegia, media Barat juga berusaha melokalisasi pelaku aksi terorisme hanya sebatas pada individu Breivik semata, yang mereka nilai sebagai seorang psikopat bermental gila dan menyatakan bahwa orang lain tidak dapat disalahkan karena kekejaman satu orang tersebut. Padahal aksi tersebut tidak dapat dipisahkan dari para pembuat opini, yakni media dan kalangan politik yang merupakan sumber inspirasi bagi Breivik, karena sejak lama mereka menggambarkan kehadiran Muslim di Barat sebagai ancaman keamanan. Namun, pada sisi lain, selama ini media Barat begitu mudahnya menimpakan kasus terorisme pada Dunia Islam dan Islam itu sendiri hanya karena tindakan kriminal seorang Muslim.

Ketiga: tindakan Breivik mencerminkan sikap politik para aktivis dan politisi Eropa yang menderita Islamophobia dan xenophobia, yakni perasaan takut berlebihan terhadap masuknya orang asing, khususnya Muslim, ke Eropa. Sebagaimana diketahui, Breivik merupakan warga Norwegia yang ada kaitannya dengan kalangan sayap kanan. Dia merupakan simpatisan Israel dan mantan anggota Partai Kemajuan Norwegia (Norway's Progress Party) yang berhaluan kanan. Pandangan partai ini sama dengan pandangan Partai Nasional Inggris (BNP) dan Liga Pertahanan Inggris (EDL) yang mengusung sentimen anti-Muslim serta permusuhan terhadap kaum imigran dan kaum minoritas. Pandangan ini tumbuh subur sejak secara massif ditabuh propaganda war against terror yang dikomandani oleh AS.

Islamofobla dan xenophobia yang dilancarkan para politisi dan media berhaluan kanan telah memicu iklim kebencian di Eropa terhadap Islam dan kaum Muslim sebagai bagian dari perang melawan teror. Pada bulan Februari 2011 lalu, Perdana Menteri Inggris David Cameron, ketika berbicara pada sebuah konferensi keamanan di Munich, menyerang doktrin multikulturalisme dan mengaitkannya dengan seruan bagi umat Islam untuk belajar bergaya hidup Barat. Pidato itu dipuji oleh pemimpin rasis Front Nasional Prancis, Marine Le Pen. Sikap buruk ini juga dipertontonkan oleh Sarkozy yang menekan umat Islam di Prancis untuk berperilaku kebarat-baratan, berpikiran sekular, meninggalkan nilai-nilai Islam dan seruan untuk penerapan hukum Islam, serta melarang jilbab dan niqab di Prancis dan Eropa.

Sejak tanggal 11 September 2001, sebagian pihak di dunia Barat telah membentuk kerjasama dengan sayap kanan dan kalangan nasionalis. Bahkan mereka mendapatkan banyak dukungan secara parlementer melalui wakil-wakil partai sayap kanan yang anti-Muslim. Di antaranya adalah Geert Wilders yang memimpin partai ketiga terbesar di Belanda, yaitu Partai Kebebasan. Wilders menganggap umat Islam sebagai fasis dan menyamakan al-Quran dengan buku Adolf Hitler, Mein Kampf. Kemudian ada Siv Jensen, salah satu pimpinan Partai Pembangunan di Norwegia, yang mengkampanyekan pembatasan imigran di Norwegia, khususnya Muslim. Di Swedia ada Jimmie Akesson, pemimpin Partai Demokrat Swedia, yang mengkampanyekan penekanan imigran Muslim di Swedia hingga 90 persen. Sayap kanan partai nasionalis telah dipromosikan oleh kalangan politik dan media agar sikap anti-Muslim mereka bisa dilegitimasi secara hukum dan bahkan secara moral.

Iklim xenophobia dan Islamophobia yang saat ini makin kuat merupakan lahan subur bagi sayap kanan nasionalis untuk melancarkan aksi terornya terhadap umat Muslim yang tinggal di negara-negara Barat.

Khilafah Sebagai Benteng Umat

Berbagai fakta di atas tentu saja menyadarkan kita umat Islam terhadap sejumlah hal. Pertama, kaum kafir penjaiah sesungguhnya tidak akan pernah berhenti memusuhi Islam dan umatnya. Penghinaan dan penganiayaan terhadap umat Islam yang hidup di negeri Barat adalah wujud nyata dari pertarungan peradaban (clash of civilization). Propaganda mereka di tengah-tengah umat Islam seperti demokrasi, HAM, kebebasan, dialog antarperadaban dan sebagainya sejatinya merupakan peluru mereka untuk memenangkan pertarungan tersebut. Gerakan anti-Muslim oleh para politisi Barat seperti yang ditunjukkan oleh Breivik di Norwegia, pelarangan jilbab atau burqa, pengawasan masjid, pembakaran al-Quran dan sikap diskriminatif lainnya merupakan jurus handal mereka untuk mencegah pertumbuhan ideologi dan sistem hukum Islam.

Kedua: sikap Islamophobia, xenophobia dan sikap diskriminatif Barat terhadap umat Islam pada dasarnya merupakan indikasi kekalahan Barat secara intelektual. Mereka tidak mampu membendung gelombang kebangkitan Islam yang diindikasikan dengan banyaknya warga Barat yang masuk Islam. Sebagaimana diketahui, saat ini Islam merupakan agama yang paling cepat perkembangannya di Eropa dan Amerika. Menurut Pew Research Center (2010), dalam 30 tahun terakhir jumlah kaum Muslim di seluruh dunia telah meningkat pesat hingga 300 persen sehingga menjadi 1,57 miliar jiwa. Eropa memiliki sedikitnya 38 juta Muslim yang membentuk lima persen dari total populasi benua tersebut. Di benua Amerika terdapat lebih dari 46 juta Muslim. Jumlah pemeluk Islam yang terns berkembang itu telah menyebabkan perubahan secara demografi. Pada beberapa wilayah, penduduk Muslim telah lebih banyak dibandingkan dengan pemeluk Kristen Protestan dan Yahudi. Majalah terkemuka L'Express (2010) dalam sebuah artikelnya bahkan berani memprediksikan bahwa dalam 20 tahun ke depan, Islam bisa menjadi agama dominan di ibukota Brussel, Belgia.

Sistem Kapitalisme telah terbukti gagal dalam menyelesaikan problem ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik. Karena itu, secara argumentatif mereka tidak mampu lagi menolak kecemerlangan sistem Islam. Mereka lalu mengambil jalan pintas yang memalukan, yakni sikap diskriminatif dan teror fisik terhadap kaum Muslim yang hidup di negara-negara Barat.

Ketiga: Islam dan umatnya akan tetap mengalami penistaan dan penghinaan oleh negara-negara Barat selama Islam dan umatnya tidak memiliki benteng sebagai pelindung mereka. Benteng tersebut tidak lain adalah sebuah institusi negara yang mempersatukan mereka di seluruh dunia, yakni Khilafah Islamiyah. Institusi tersebut akan menjadi pemersatu dan pelindung umat dari segala ancaman dan penistaan. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya:
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah laksana tameng (perisai), orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Khilafah Islamiyah merupakan kunci penyelesaian dari seluruh persoalan kehidupan umat Islam melalui penerapan syariah dalam segala aspek kehidupan. Karena itu, perjuangan penegakan syariah dan Khilafah dapat pula dibaca sebagai wujud kepedulian atas nasib umat Islam dan upaya untuk membawanya menjadi umat terbaik di masa depan. AlLahu a'lam bi ash-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar