advertisement

Penayangan bulan lalu

Sabtu, 01 Agustus 2009

Beratnya Risiko Jadi Lelaki ...

Oleh: Dr. Handrawan Nadesul, Dokter Umum

Memang tak lagi bisa memilih kondisi kegenderan yang sudah diterima. Namun, orang masih sempat pula bertanya, Buat kondisi sekarang, mana lebih enak, jadi lelaki atau perempuan?
Dalam perhitungan medis, kalau boleh memilih, enak dilahirkan jadi perempuan.
Mengapa?


Karena jadi lelaki terbukti, salah satunya, lebih cepat mati dibanding perempuan. Sekurang-kurangnya untuk dua dasawarsa belakangan.
Bukan satu-dua studi ihwal nasib umur masing-masing gender digelar dan bikin kaum pria jadi miris. Juga seberapa buruk risiko menjadi kaum Adam di zaman penuh krisis sekarang ini. Namun, tentu ada kiat dan siasat supaya besarnya risiko mati muda itu bisa diredam dan dipadamkan.


Dalam hukum biologis, jumlah spermatozoa untuk jadi anak lelaki (spermatozoa Y), dan spermatozoa untuk jadi anak perempuan (spermatozoa X) yang terkandung dalam sebuah ejakulasi lebih kurang sama jumlahnya. Artinya, dalam kondisi normal, peluang masing-masing jenis spermatozoa dalam ejakulat (air mani atau sperma) untuk berebut membuahi sel telur lebih kurang sama besar. Normalnya, kemungkinan untuk setiap kohabitasi bakal membuahkan anak lelaki sama peluangnya dengan membuahkan anak perempuan.


Banyak Hambatan

Kenyataannya, spermatozoa untuk jadi anak lelaki secara umum lebih ringkih, kurang gesit, dan tak tahan rintangan di saluran pembuahan, dibanding spermatozoa untuk jadi anak perempuan. Kemungkinannya lalu sedikit menceng ke arah lebih besar peluang untuk membuahkan anak perempuan.


Namun, secara sosiologis keadaan itu masih dianggap berimbang. Pada pasangan normal, nisbah gender itu dianggap sama besarnya.


Nisbah lelaki-perempuan dalam sebuah masyarakat atau negara, tidak selalu sama secara geografis maupun kondisi kultur masing-masing masyarakatnya. Dulu, selagi zaman perang berkecamuk di mana-mana sehingga lebih banyak taruna yang mati, populasi lebih didominasi oleh kaum Hawa (negative sex ratio). Dengan begitu jumlah lelaki usia kawin lebih sedikit dibanding wanita.


Selain perang, jumlah kematian lelaki lebih banyak lagi akibat pekerjaan berisiko di luar rumah, seperti berburu, kecelakaan, dan ancaman penyakit. Pada suku-suku primitif, kondisinya hampir sama: lebih banyak wanita dibanding lelaki. Itu berarti lelaki bisa mengawini lebih banyak istri, dan harga lelaki lebih tinggi dari harga sosial wanita.
Pada suku tertentu, bisa jadi akibat perubahan sex ratio, kedudukan lelaki dipandang lebih tinggi dari wanita. Artinya, kultur yang mengubah posisi biologis kegenderan.
Pada suku lain, struktur matriakat-patriakat, dominasi jenis pekerjaan, peran keluarga, memosisikan peran gender yang tidak sama. Istri melakukan pekerjaan kasar di luar rumah, sedang suami mengasuh anak, misalnya. Itu berarti, risiko menjadi wanita sama besarnya dengan menjadi lelaki.


Kesimpulan WHO


Meski begitu, kalau dihitung-hitung, dalam hidup yang begini keras memang masih besar risiko menjadi lelaki ketimbang jadi perempuan. Terlebih ketika kehidupan semakin menghadapkan orang pada multikrisis.


Dulu krisis lelaki baru terjadi setelah berumur 40 tahun. Kini krisis lelaki di dunia sudah maju menjadi sebelum berumur 40 tahun. Itu artinya betapa semakin berat saja kaum lelaki mengarungi hidup ini.


Temuan baru ihwal risiko lelaki akibat kemaskulinannya, mengantarkannya berisiko mati muda, ternyata dua kali lipat dibanding kaum istri. Lelaki berkecenderungan (prones) untuk kena kanker lebih besar dari kaum istri.


Begitu juga untuk terserang stroke, jantung koroner, terinfeksi aneka penyakit, gangguan jiwa, kecelakaan lalu lintas, kecenderungan bunuh diri, selain akibat kelainan bawaan yang mungkin diidapnya.


WHO mengumpulkan kesimpulan itu dari studi terhadap tak kurang dari 200 juta lelaki dari 17 negara maju. Ketika dunia medis terfokus pada upaya meningkatkan kesehatant wanita, dunia lupa bahwa kesehatan dan risiko yang dipikul kaum Adam juga perlu mendapat perhatian lebih.


Perbedaan besaran risiko lelaki dibanding wanita, disebut-sebut sebagai akibat dari perbedaan biologis, pola, dan gaya hidup kaum Adam yang (konon) lebih menonjolkan kemaskulinannya, selain angka perceraian yang terus meningkat dalam dua dasawarsa terakhir ini (Studi Dr. Alan White, Leeds Metropolitan University). Sikap menganggap tidak maskulin kalau lelaki menangis, kurang waktu untuk tertawa, merupakan bagian dari beratnya pikulan risiko kaum pria.


Kita tahu, begitu banyak jenis penyakit yang lebih maskulin akibat kelewat banyak minum alkohol dan merokok. Kanker paru wanita di dunia ikut meningkat akibat kebiasaan buruk merokok lelaki banyak dianut kaum Hawa juga. Pola dan gaya hidup kerja keras, pecandu kerja, menambah angka penyakit lelaki yang sebetulnya tak perlu terjadi bila tahu menangkalnya.


Hidup dikejar dan diburu oleh waktu, lupa waktu jeda, dan tidak pernah puas, kurang bersyukur, kurang mencintai pekerjaan, merupakan bagian dari gaya hidup yang mendukung semakin banyaknya penyakit jenis lelaki yang mestinya tak perlu ada. Angka stroke dan jantung koroner mendera pada usia yang semakin belia bermunculan sekarang ini.


Kehilangan Komunitas


Orang sekarang selain terancam sosok integritas hidupnya, juga semakin kehilangan komunitasnya. Hidup menjadi kian soliter dan terpisah dari rasa guyub, dalam hiruk pikuk kehidupan, orang masih saja merasakan kesepian. Kesepian hidup menambah besar gangguan jiwa. Sehat fisik saja kini tak cukup bila rasa jiwa dan rasa sosial tidak bugar.


Banyaknya perceraian, dan kaum pria memilih hidup melajang, ikut menambah besar risiko lelaki mati prematur. Semua anasir yang menambah jelek risiko untuk terkena penyakit, dan mengantarkan kaum pria untuk mati sebelum waktunya, mestinya disingkirkan dari perjalanan hidup masing-masing.


Untuk itu banyak yang bisa dilakukan. Nasib sebagian besar tahun-tahun di depan kita, nasib kaum pria khususnya, sebetulnya masih ada di tangan kita masing masing. Bukan pada tangan orang lain, dan tidak selalu harus mengklaim bahwa itu sebagai suratan atau pemberian Tuhan bila yang kita upayakan belum optimal, atau cuma memilih menerima nasib, bukan memilih "nasib".

1 komentar:

  1. tapikan jadi cwok itu jauh lebih enak, kalian para lekong tidak perlu susah payah merasakan yang namanya hamil dkk...
    selain itu kalian kan bisa nikah ama beberapa cwek sekaligus. sementara untuk cwek ga ada yang namanya poliandri...jadi kalian tu harus bersyukur dunk.....

    BalasHapus