Oleh: M. Anwar Djaelani
NYARIS selalu berulang setiap tahun, tentang berbagai ‘kesibukan’ kaum Muslimin menjelang lebaran. Mari kita baca sebagian. Lihatlah berita di www.surya.co.id 18/7/2011: “Tiket Kereta Api H-3 Lebaran Habis”. Artinya, ketika berita itu keluar, lebaran 2011 masih lama dan bahkan Ramadhan 2011 belum kita masuki karena baru akan dimulai 1/8/2011.
Sementara, www.metrotvnews.com 19/7/2011 menurunkan judul “Tiket Lebaran Sudah Habis” dan dengan lead “Belum lagi puasa kita jalankan, orang-orang sudah bersiap untuk pulang berlebaran. Begitu dibuka loket pemesanan tiket kereta api untuk mudik nanti, tiket yang tersedia hingga tiga hari menjelang lebaran langsung habis dipesan para pemudik”.
Silakan bandingkan dengan berita di tahun sebelumnya. KOMPAS 13/8/2010 memberitakan: Lebaran masih sebulan lagi, tetapi pemesanan tiket kereta api jurusan Surabaya-Banyuwangi dan Surabaya-Yogyakarta telah mencapai 75 persen dari total kursi yang disediakan. Sementara pesanan tiket KA jurusan Malang-Jakarta, Surabaya-Jakarta, dan Surabaya-Bandung baru sekitar 20-30 persen.
Berita-berita di atas mengonfirmasikan bahwa aktivitas mudik untuk berhari-raya di kampung halaman masih dilakukan banyak orang karena dinilai sebagai tradisi yang baik.
Mudik? Adakah yang perlu kita kritisi? Boleh jadi, ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan introspeksi kita bersama. Antara lain, pertama, sebagian dari pemudik itu membatalkan puasanya dengan dalih sedang menjadi musafir. Maka, sebagian dari mereka-pun merasa seperti tak bersalah saat secara demonstratif makan-minum di tempat-tempat terbuka. Padahal, pemandangan seperti ini, bisa menjadi iklan yang tak bagus tentang (umat) Islam.
Kedua, karena begitu banyak orang yang mudik di waktu (hampir) bersamaan, terjadilah situasi yang bisa tak menyenangkan. Misal, bertumpuknya banyak kendaraan di jalan kerap menimbulkan kemacetan yang parah. Lalu, tak sedikit yang tak bisa menahan diri: saling serobot dengan berbagai efek sampingnya, seperti berkata-kata kasar, dan lain-lain. Tentu saja, hal-hal seperti ini sama sekali bukan iklan yang menarik tentang (umat) Islam.
Kebiasaan lain adalah menyiapkan hal-hal yang dianggap bertalian langsung dengan Idul Fitri. Misal, menyiapkan baju baru, perabot rumah baru, kue-kue, atau pernik-pernik lain yang serupa dengan itu. Maka, terutama di sepuluh hari terakhir Ramadhan, pasar-pasar (yang tradisional ataupun yang modern) penuh sesak. Sementara, masjid semakin jauh berkurang pemakmurnya.
Sangat Berharga
Aisyah RA berkata: “Nabi SAW apabila memasuki sepuluh malam terakhir (Ramadhan), maka beliau mengencangkan kainnya (tidak menggauli istrinya), menghidupkan malamnya (dengan ibadah) dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari).
Adapun yang istimewa di sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah adanya Lailatul Qadr. Pada malam tersebut, Allah menurunkan untuk kali pertama Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. Setelah itu, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, selama kurang lebih 23 tahun, yaitu 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.
Peristiwa turun kali pertama Al-Qur’an itu diabadikan Allah dalam firman-Nya:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS Al-Qadr [97]: 1).
Apa keutamaan Lailatul Qadr?
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS Al-Qadr [97]: 3). Maksudnya, beribadah di malam itu dengan segenap ketaatan (seperti shalat, membaca al-Qur’an, dzikir, dan doa) bernilai lebih baik jika dibandingkan dengan beribadah selama seribu bulan. Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya bulan ini (Ramadhan) telah datang kepadamu. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai keutamaannya lebih baik daripada seribu bulan. Barang-siapa yang mengabaikannya, maka ia terabaikan dari segala kebaikan. Tidak ada yang mengabaikannya kecuali orang yang diabaikan.” (HR Ibnu Majah).
Pada Lailatul Qadr para malaikat turun ke bumi membawa kebaikan, keberkahan, dan rahmat. “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” (QS Al-Qadr [97]: 4).
Lailatul Qadr adalah malam kesejahteraan dan keselamatan. “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS Al-Qadr [97]: 5). Pada malam itu, hamba Allah yang shalih dan menjumpai Lailatul Qadr, akan diampuni dosa-dosanya lantaran ketaatannya kepada Allah. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang-siapa beribadah pada malam Lailatul Qadr karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhari dan Muslim).
Bagaimana mendapatkannya? Berdasarkan HR Bukhari dan Muslim, carilah Lailatul Qadr itu pada salah satu dari malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Apa tanda-tanda kehadiran Lailatul Qadr? Antara lain, bahwa berdasar HR Muslim malam itu cerah, tidak terasa dingin dan juga tidak terasa panas. Matahari di pagi harinya terlihat merah dan redup atau tidak terlalu terang seperti biasanya.
Jangan Abaikan!
Adakah resep untuk mendapatkan Lailatul Qadr? Adakah kiat menjumpai malam yang lebih baik dari seribu bulan itu? Untuk mendapatkannya, memang tak ada pilihan lain kecuali kita harus terus-menerus beramal-shalih secara istiqomah di sepanjang hari, di sepanjang malam, di sepanjang bulan Ramadhan dan terutama di sepuluh malam yang terakhir.
Oleh karena itu, adanya sunnah untuk beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebab, di antara manfaat yang bisa kita peroleh adalah lebih memberi peluang untuk menjumpai Lailatul Qadr.
Jadi, jangan abaikan Lailatul Qadr, misalnya, karena kita terbuai oleh aktivitas mudik yang melelahkan!
Penulis adalah dosen STAIL (Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam luqmanul Hakim) Hidayatullah Surabaya
Sumber : hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar